West Papua

West Papua
Tanah Kelahiranku
Powered By Blogger

Amopa

Ces Gimana Menurut Anda dengan Website Kami..!

Cari Blog Ini

Laman

Minggu, 04 April 2010

PEMANFAATAN RUMPUT LAUT (Euchema cottonii) SEBAGAI ADSORBEN ION TIMBAL(II) DALAM PERAIRAN

PEMANFAATAN RUMPUT LAUT (Euchema cottonii) SEBAGAI ADSORBEN ION TIMBAL(II) DALAM PERAIRAN







YUSUF PEKEI
H31106205


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Permasalahan lingkungan hidup merupakan hubungan makhluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan sebuah benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup (Bappedal, 1997). Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena adanya aktifitas yang dilakukan oleh manusia maupun karena pengaruh alam. Salah satu akibat samping dari kegiatan pembangunan diberbagai sektor dan daerah adalah dihasilkannya limbah yang semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya. Limbah tersebut telah menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup (Tandjung, 1991).
Sejalan dengan perkembangan sektor industri pada beberapa daerah telah terjadi berbagai kasus pencemaran terhadap sumber-sumber air, lebih jauh dari itu bahan pencemar air yang seringkali menjadi masalah terhadap masyarakat dan lingkungan adalah terdapatnya limbah bahan berbahaya dan beracun (Brahmana dan Moelyo, 2003).
Kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah besar dunia saat ini. Persoalan spesifikasi logam berat di lingkungan terutama karena keberadaannya di alam dan akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya di alam, serta meningkatnya logam berat yang menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara dan air. Proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap peningkatan kontaminan tersebut (Suhendrayatna, 2001).
Secara alami logam mengalami siklus perputaran dari kerak bumi ke lapisan tanah, ke dalam makhluk hidup, ke dalam kolom air, mengendap dan akhirnya kembali lagi ke dalam kerak bumi, tetapi kandungan alamiah logam berubah-ubah tergantung pada kadar pencemaran yang dihasilkan manusia maupun karena erosi alami. Pencemaran akibat aktivitas manusia lebih banyak berpengaruh dibandingkan pencemaran secara alami. Timbal merupakan salah satu logam berat yang banyak terkandung dalam air buangan industri terutama industri elektroplating atau metalurgi dan industri yang menggunakan logam sebagai bahan baku proses. Keberadaan logam Pb di dalam air buangan sangat berpotensi mencemari lingkungan. (Prihatiningsih, 2001).
Mengingat resiko yang dapat ditimbulkan oleh logam berat, pemanfaatan sistem adsorpsi untuk pengambilan logam-logam berat dari perairan telah banyak dilakukan. Beberapa spesies alga telah ditemukan mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk mengadsorpsi ion-ion logam, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk sel mati (biomassa). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gugus fungsi yang terdapat dalam alga mampu melakukan pengikatan dengan ion logam seperti yang telah dilakukan oleh Davis, dkk., (2000) menggunakan Sargassum dan Figueira dkk., (2000) yang menggunakan biomassa Durvillaea, Laminaria, Ecklonia sebagai biosorben logam berat.
Berkaitan dengan uraian di atas, akan dilakukan penelitian tentang pemanfaatan rumput laut Euchema Cottonii untuk penyerapan ion Pb2+. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi alternatif atas pencemaran logam berat di perairan.
1.2. Rumusan masalah
1. Berapa besar kapasitas penyerapan ion Pb2+ oleh rumput laut (Euchema Contonii) berdasarkan variasi waktu dan konsentrasi?
2. Apakah interaksi ion Pb2+ dengan rumput laut (Euchema Contonii) dapat diterapkan sebagai solusi alternatif bagi masalah pencemaran logam berat di lingkungan perairan?
1.3 Maksud dan tujuan
1.3.1 Maksud
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan E.cottonii menyerap ion logam terutama ion Pb2+.
1.3.2 Tujuan
1. Menentukan kapasitas penyerapan ion Pb2+ oleh rumput laut (Euchema Cottonii) berdasrkan variasi waktu dan konsentrasi.
2. Menentukan kapasitas penyerapan rumput laut (Euchema Contonii)? terhadap ion Pb2+.

1.4. Manfaat
Manfaat penelitian ini antara lain berupa informasi tentang parameter interaksi Euchema Cottonii terhadap ion Pb2+ sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengolah lingkungan perairan yang terkontaminasi oleh logam berat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Perairan
Indonesia telah dikenal luas sebagai negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya adalah lautan dan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu 80.791,42 Km. Di dalam lautan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa tumbuhan air maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di laut adalah alga (Putra, 2006). Lautan merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup manusia, kita dapat bayangkan jika lautan kita tercemar/rusak sehingga sebagian dari biomasa itu tercemar. Sementara 60% populasi manusia bumi ini tinggal di 60 km dari sebuah pantai yang sangat bergantung pada hasil laut (Sudrajad, 2006).
Secara normal, laut memiliki daya asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang masuk ke dalam badan air. Akan tetapi dengan semakin tingginya konsentrasi akumulasi bahan pencemar ke dalam perairan laut akan mengakibatkan daya asimilatif laut sebagai gudang sampah menjadi menurun dan menimbulkan masalah lingkungan. Dampak pencemaran ini memberi pengaruh dalam kehidupan manusia, organisme lain serta lingkungan sekitarnya. Untuk itu secara dini sumber pencemar dan bahan-bahan pencemar perlu dikendalikan agar kelak tidak merusak lingkungan laut. Logam Pb dan Hg yang merupakan jenis bahan pencemar di laut, selain dapat menurunkan kualitas dan produktivitas perairan laut, juga dapat menimbulkan keracunan, karena unsur Hg dan Pb merupakan unsur logam berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia apabila terakumulasi pada organisme perairan yang dikonsumsi manusia (Siahainenia, 2001). Logam yang ada pada perairan suatu saat akan turun dan mengendap pada dasar perairan, membentuk sedimentasi, hal ini akan menyebabkan organisme yang mencari makan di dasar perairan (udang, rajungan, dan kerang) akan memiliki peluang yang besar untuk terpapar logam berat yang telah terikat di dasar perairan dan membentuk sedimen (Rahman, 2006).
Pencemaran laut oleh logam berat bukan lagi merupakan suatu masalah baru yang mengancam kesejahteraan hidup manusia. Karena laut telah lama dipandang sebagai tempat akhir yang cocok untuk pembuangan limbah yang dihasilkan oleh manusia, dengan anggapan bahwa volume lautan di dunia ini sangat luas yang mempunyai kemampuan tidak terbatas untuk menyerap segala sesuatu yang dibuang ke dalamnya baik sengaja maupun yang tidak disengaja (Nybakken, 1988).
Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa pencemaran perairan merupakan masalah lingkungan hidup yang perlu dipantau sumber dan dampaknya terhadap ekosistem. Dalam memantau pencemaran air digunakan kombinasi komponen fisika, kimia dan biologi. Penggunaan salah satu komponen saja sering tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, penggunaan komponen fisika dan kimia saja hanya akan memberikan gambaran kualitas lingkungan sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan penafsiran dan kisaran yang luas, oleh sebab itu penggunaan komponen biologi juga sangat diperlukan karena fungsinya yang dapat mengantisipasi perubahan pada lingkungan kualitas perairan.


2.2 Uraian Umum Logam Berat
Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang sangat berbahaya bagi organisme karena dapat memberikan pengaruh letal dan subletal. Pengaruh sub letal tersebut dapat berupa gangguan terhadap morfologi atau histologi, fisiologi (pertumbuhan, perkembangan, kemampuan untuk berenang, bernafas, sirkulasi), biokimia (keadaan kimia darah, kegiatan enzim dan endokrinologi), perilaku atau neurofisiologi dan perkembangbiakan atau reproduksi (Suryani dan Liong, 2003).
Logam-logam tertentu sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan (dalam air, tanah dan udara), karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh mahluk hidup. Pencemaran lingkungan oleh logam-logam berbahaya (Cd, Pb, Hg), dapat terjadi jika orang atau pabrik yang menggunakan logam tersebut untuk proses produksinya tidak memperhatikan keselamatan lingkungan. Logam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu logam esensial dan logam non esensial. Logam esensial adalah logam yang sangat membantu dalam proses fisiologi mahluk hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari makhluk yang bersangkutan. Sedangkan logam non esensial adalah logam yang peranannya dalam tubuh tidak diketahui, kandungannya dalam jaringan hewan sangat kecil, dan apabila kandungannya tinggi akan dapat merusak organ-organ tubuh makhluk yang bersangkutan (Darmono, 1995).
Menurut Miettinen (1977) dalam Marganof (2003) logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Sebagian besar logam berat seperti Pb, Cd, Cr dan Hg berpengaruh besar terhadap lingkungan karena toksisitasnya (Husain dan Muchtar, 2005). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+.

2.3 Timbal
Timbal atau yang kita kenal sehari -hari dengan timah hitam dan dalam bahasa ilmiahnya dikenal dengan kata plumbum (Pb). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IVA pada tabel periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot atom (BA) 207,2 adalah suatu logam berat berwarna kelabu kebiruan dan lunak dengan titik leleh 327 oC dan titik didih 1.620 oC. Pada suhu 550-600 oC, Pb menguap dan membentuk oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Bentuk oksidasi yang paling umum adalah timbal(II) (Palar, 1994).
Timbal merupakan salah satu logam berat yang banyak terkandung dalam air buangan industri terutama industri elektroplating atau metalurgi dan industri yang menggunakan logam sebagai bahan baku proses. Keberadaan logam Pb di dalam air buangan sangat berpotensi mencemari lingkungan. (Prihatiningsih, 2001). Logam timbal berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk Pb-arsenat. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan Qodir, 1990).
Logam Pb terdapat di perairan baik secara alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Di samping itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam perairan (Palar, 2004). Diperkirakan 95% Pb dalam sedimen nonorganik dan organik dibawa oleh air sungai menuju samudera (Herman, 2006).

2.3.1 Absorpsi dan Dampak Pb bagi Tubuh
Timbal dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui absorpsi timbal pada sayuran, asap hasil pembakaran TEL yang diabsorpsi kulit dan dihirup, serta air minum yang terkontaminasi timbal organik atau ion timbal. Fisik timbal sangat mirip dengan kalsium, sehingga timbal dapat masuk ke peredaran darah dan sel saraf menggantikan kalsium (Martaningtyas, 2004).
Menurut Darmono (1995), timbal mungkin berpengaruh negatif pada semua orang yaitu dengan mengganggu enzim oksidase sebagai akibatnya menghambat sistem metabolisme sel, salah satu diantaranya adalah menghambat sintesis Hb dalam sumsum tulang. Timbal menghambat enzim sulfuhidril untuk mengikat delat-aminolevulinik asid (ALA) menjadi porpobilinogen, serta protoforfirin-9 menjadi Hb. Hal ini menyebabkan anemia dan adanya basofilik stipling dari eritrosit yang merupakan ciri khas dari keracunan Pb. Basofilik terjadi karena retensi dari DNA ribosoma dalam sitoplasma eritrosit sehingga mengganggu sistem protein.
Adanya timbal dalam peredaran darah dan dalam otak juga mengakibatkan berbagai gangguan fungsi jaringan dan metabolisme. Gangguan mulai dari sintesis haemoglobin darah, gangguan pada ginjal, sistem reproduksi, penyakit akut atau kronik sistem syaraf, serta gangguan fungsi paru-paru (Martaningtyas, 2004).
Timbal dan senyawanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan absorbsi melalui kulit sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Timbal yang diabsorsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Ekskresi Pb melalui urine sebanyak 75–80%, melalui feses 15% dan lainnya melalui empedu, keringat, rambut, dan kuku (Palar,1994).
Bahaya yang ditimbulkan oleh Pb tergantung oleh ukuran partikelnya. Partikel yang lebih kecil dari 10 µg dapat tertahan di paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar mengendap di saluran nafas bagian atas (Ardyanto, 2005). Dampak lebih jauh dari keracunan Pb adalah dapat menyebabkan hipertensi dan salah satu faktor penyebab penyakit hati. Ketika unsur ini mengikat kuat sejumlah molekul asam amino, haemoglobin, enzim, RNA, dan DNA maka akan mengganggu saluran metabolik dalam tubuh. Keracunan Pb dapat juga mengakibatkan gangguan sintesis darah, hipertensi, hiperaktivitas, dan kerusakan otak (Herman, 2006).

2.3 Rumput laut
Perairan Indonesia berpotensi besar untuk budidaya rumput laut dengan tehnik pengolahan yang mudah, penanganan yang sederhana dengan modal kecil sehingga di Indonesia berkembang industri pengolahan rumput laut. Salah satu di antaranya adalah PT. Bantimurung Indah Kab. Maros Sulawesi selatan yang mengolah rumput laut Jenis Euchema contonii dan Euchema spinosum (Yustin, dkk., 2005). Rumput laut atau yang biasa disebut dengan seaweed merupakan tanaman makroalga yang hidup di laut yang tidak memiliki akar, batang dan daun sejati dan pada umumnya hidup di dasar perairan. Rumput laut juga sering disebut sebagai alga atau ganggang pada daerah-daerah tertentu di Indonesia (Juneidi, 2004).
Menurut Afrianto dan Liviawati, (1993) fungsi dari akar, batang dan daun yang tidak dimiliki oleh rumput laut tersebut digantikan dengan thallus. Karena tidak memiliki akar, batang dan daun seperti umumnya pada tanaman, maka rumput laut digolongkan ke dalam tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Bagian–bagian rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thallus yaitu bentuk-bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan. Rumput laut memperoleh atau menyerap makanannya melalui sel-sel yang terdapat pada thallusnya. Nutrisi terbawa oleh arus air yang menerpa rumput laut akan diserap sehingga rumput laut bisa tumbuh dan berkembangbiak. Perkembangbiakan rumput laut melalui dua cara yaitu generatif dan vegetatif.








Gambar 1. Morfologi rumput laut (Afrianto dan Liviawati, 1993)
Ditinjau secara biologi, rumput laut merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Di dalam alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Berbagai jenis alga seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat (Putra, 2006).
Selain yang telah disebutkan di atas di dalam rumput laut juga terdapat mineral esensial (besi, iodin, aluminum, mangan, kalsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor. silikon, rubidium, strontium, barium, titanium, kobalt, boron, tembaga, kalium, dan unsur-unsur lainnya yang dapat dilacak), protein, tepung, gula dan vitamin A, D, C, D. Persentase kandungan zat-zat tersebut bervariasi tergantung dari jenisnya (Anonim, 2006). Pemanfaatan rumput laut yang demikian besarnya disebabkan dalam rumput laut terkandung beragam zat kimia dan bahan organik lain seperti vitamin (Hidayat, 1994).
Menurut Juneidi (2004), Alga merah merupakan kelompok alga yang jenis-jenisnya memiliki berbagai bentuk dan variasi warna salah satu indikasi dari alga merah adalah terjadi perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu atau merah apabila alga tersebut terkena panas atau sinar matahari secara langsung. Alga merah merupakan golongan alga yang mengandung karagenan dan agar yang bermanfaat untuk industri kosmetik dan makanan. Salah satu contoh rumput laut jenis alga merah yang bernilai ekonomis dan terdapat di perairan laut Indonesia adalah Eucheuma cottoni.
Ciri-ciri umum alga merah adalah :
- Bentuk thalli ada yang silindris (Gelidium latifolium), pipih (Gracillaria folifera) dan lembaran (Dictyopteris sp.)
- Warna thalli bervariasi ada yang merah (Dictyopteris sp.), pirang (Eucheuma spinosum), coklat (Acanthophora muscoides) dan hijau (Gracillaria gigas).
- Sistem percabangan thalli ada yang sederhana, kompleks,dan juga ada yang berselang – seling.
- Mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xantofil, fikobilin, dan r-fikoeritrin penyebab warna merah dan klorofil a dan d.
Menurut Samsuari, (2006) beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah fakor lingkungan yang meliputi:
1. Suhu
Pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis disamping cahaya dan konsentrasi fosfat. Perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatnya energi matahari yang masuk ke dalam perairan. Hal ini dapat meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Kecepatan fotosintesis akan konstan dan produksi maksimum tidak tergantung pada energi matahari lagi sampai pada reaksi enzimatis. Fotosintesis maksimal bagi Eucheuma adalah pada suhu 21 – 31,2 oC, sedangkan pada suhu di atas 32 oC aktivitas fotosintesis terhambat.
2. Salinitas
Salinitas perairan berperan penting bagi organisme laut terutama dalam mengatur tekanan osmosis yang ada dalam tubuh organisme dengan cairan lingkungannya. Salinitas di perairan dipengaruhi oleh penguapan dan jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan yang turun di suatu perairan kurang yang menyebabkan penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka penguapan berkurang dan salinitas menjadi rendah.
3. Kecepatan arus
Pergerakan air mempengaruhi bobot, bentuk thallus dan produksi bahan-bahan hidrokoloid Eucheuma. Gerakan air (arus) yang baik untuk pertumbuhan rumput laut antara 20 – 40 cm/detik.
4. pH
Hampir seluruh alga mempunyai kisaran daya penyesuaian terhadap pH antara 6,8 – 9,6.

2.3.1 Eucheuma cottonii
Menurut Doty (1985) dalam Samsuari (2006), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Ciri fisik Eucheuma cottoni memiliki ciri-ciri yaitu Thallus silindris, permukaan licin, melekat pada sustrat dengan alat perekat berupa cakram (Juneidi, 2004), keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. (Aslan, 1998).
Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Atmadja, 1996 dalam Samsuari 2006).

Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) dalam Samsuari (2006) adalah sebagai berikut :
Klasifikasi
Divisio/Phylum : Rhadophyta
Class : Rhodophyceae
Sub class : Florideophycidae
Ordo : Gigartinales
Famili : Soliericiae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonni (Kapaphycus alvarezii)





Gambar 2. Eucheuma cottoni (amsuari, 2006)

2.3.2 Rumput Laut sebagai Adsorben Logam Berat
Pemanfaatan sistem adsorpsi untuk pengambilan logam-logam berat dari perairan telah banyak dilakukan. Beberapa spesies alga telah ditemukan mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk mengadsorpsi ion-ion logam, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk sel mati (biomassa). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gugus fungsi yang terdapat dalam alga mampu melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama adalah gugus karboksil, hidroksil, sulfudril, amino, iomodazol, sulfat, dan sulfonat yang terdapat didalam dinding sel dalam sitoplasma (Putra, 2006). Rumput laut menawarkan keuntungan untuk biosorpsi karena memiliki struktur yang makroskopis sehingga dapat digunakan sebagai biosorben (Regine, dkk., 2000).
Dari berbagai penelitian di ketahui bahwa berbagai spesies alga terutama dari golongan alga hijau (Chlorophyta), alga coklat (Phaeophyta), dan alga merah (Rhodophyta) baik dalam keadaan hidup (sel hidup) maupun dalam bentuk sel mati (biomassa) dan biomassa terimmobilisasi telah mendapat perhatian untuk mengadsorpsi ion logam. Alga dalam keadaan hidup dimanfaatkan sebagai bioindikator tingkat pencemaran logam berat di lingkungan aquatik (perairan) sedangkan alga dalam bentuk biomassa dan biomassa terimmobilisasi dimanfaatkan sebagai biosorben (material biologi penyerap logam berat) dalam pengolahan air limbah (Putra, dkk., 2006).
Menurut Phillips (1980) makroalga merupakan indikator yang paling tepat dan efisien untuk pencemaran logam berat, karena mikroorganisme ini dapat mengakumulasi pencemar, terdapat dalam jumlah banyak, dan korelasi antara kandungan bahan pencemar dalam air dan dalam tubuh organisme dapat ditunjukkan.
Menurut Putra, dkk. (2006) keuntungan pemanfaatan alga sebagai bioindikator dan biosorben adalah:
(1) Alga mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengadsorpsi logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam.
(2) Bahan bakunya mudah didapat dan tersedia dalam jumlah banyak
(3) Biaya operasional yang rendah
(4) Tidak perlu nutrisi tambahan







Gambar 3. Struktur sel dari Alga (Regine, dkk., 2000)
Mekanisme pengikatan ion-ion logam oleh alga terjadi melalui beberapa cara seperti adsorpsi melalui pertukaran ion, kompleksasi, serta entrapmen (Harris dan remelow 1990 dalam Raya 2001).
Ladeiro, dkk., (2006) menggunakan makroalga Cystoseira baccata sebagai biosorben untuk Cd(II) dan Pb(II) dengan studi kinetika dan kesetimbangan menunjukkan bahwa Cystoseira baccata mampu melakukan pengambilan logam dengan cepat, study kinetika dan kesetimbangan menunjukkan logam yang diserap sekitar 0.9 mmol/g ( 101mg/g untuk cadmium(II) dan 186 mg/g untuk dan lead(II) ) pada pH 4.5 Hashim dan Chu (2004) membandingkan besarnya kapasitas penyerapan logam cadmium oleh tiga jenis biomassa alga yaitu: alga coklat, alga merah, dan hijau. Hasil yang dioperoleh menunjukkan bahwa kapasitas penyerapan maksimum pada pH 5 adalah alga merah < alga hijau < alga coklat, dengan kapasitas penyerapan sebesar 0,74 mmol/gram Sargassum baccularia (alga coklat) dan 0,48 mmol/gram Chaetomorphalinum (alga hijau) dan 0,23 mmol/gram Glcsilaria changii (alga merah). Dengan menggunakan model adsorpsi langmuir, Antunes, dkk., (2003) melaporkan bahwa biomassa Sargassum sp. potensial untuk menyerap ion Cu2+ dengan kapasitas penyerapan sebesar 1,48 mmol/g.

2.4 Adsorpsi
Adsorpsi adalah peristiwa terkonsentrasinya suatu zat pada permukaan zat lain. Zat yang menyerap disebut adsorben sedangkan zat yang diserap seperti molekul, atom atau ion disebut adsorbat (Laidler, 1982 dalam Tondok, 2001). Menurut Petrucci-Suminar (1987) terjadinya proses adsorpsi melibatkan gaya-gaya intermolekul seperti, gaya elektrostatik, gaya London serta antraksi ion-ion yang terdapat pada adsorben maupun adsorbat, sehingga proses adsorpsi akan melibatkan perubahan energi. Jika adsorpsi dipandang sebagai suatu reaksi kesetimbangan, maka pada keadaan setimbang ∆G = 0, sehingga energi adsorpsi dapat dirumuskan sebagai berikut :
-∆Go = -RT ln K (1)
Alberty dan Silbey (1992), menyatakan bahwa adsorpsi secara umum dapat didefinisikan sebagai akumulasi sejumlah molekul (senyawa, ion maupun atom) yang terjadi pada batas antara dua fasa. Adsorpsi dapat terjadi antara dua fasa seperti antara fasa cair-padat, fasa gas-padat, dan fasa gas-cair.
Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, maka adsorpsi dapat dibedakan menjadi adsorpsi kimiawi dan adsorpsi fisikawi. Adsorpsi kimia melibatkan pembentukan ikatan kimia, meskipun pada umumnya tidak ada perbedaan yang sangat jelas antara kedua jenis adsorpsi ini kecuali perubahan entalphinya dimana perubahan entalphi kimia lebih besar dari pada adsorpsi fisika yaitu berkisar 40 sampai 200 kj/mol. Adsorpsi kimia bergantung pada energi aktivasi (energi minimal yang dibutuhkan untuk terjadinya adsorpsi). Besarnya energi adsorpsi menyebabkan adsorbat sangat sukar untuk dilepaskan dari permukaan adsorben, sedangkan banyaknya molekul yang teradsorpsi merupakan fungsi tekanan, konsentrasi dan suhu. Adsorpsi fisikawi merupakan proses yang sangat reversible, dengan waktu kesetimbangan yang tercapai segera setelah adsorbat bersentuhan dengan adsorben, di samping itu terjadi adsorpsi berlangsung dalam beberapa lapisan monomolekuler yang membutuhkan kondisi tekanan dan temperatur tertentu (Alberty dan Silbey 1992).


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis Euchema cottonii, larutan induk Pb 1000 ppm, PbO2, aquades, dan air laut steril.

3.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas yang umum digunakan di laboratorium, aerator, baskom (wadah untuk menumbuhkan rumput laut), tali, lampu neon, serta Spektropotometer Serapan Atom (SSA).

3.3 Waktu dan tempat pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan maret 2008 di desa Gusungnge, Kel. Jalanjang, Kec.Gantarang, Kab.Bulukumba. Sampel ditumbuhkan di laboratorium kimia anorganik selama 45 hari.

3.4 Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2008 di laboratorium Kimia anorganik Universitas hasanuddin, Makassar

3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Pembuatan larutan induk Pb2+ 1000 ppm
Larutan induk Pb2+ 1000 ppm dibuat dengan cara melarutkan 1,1544 gram PbO2 dalam labu ukur 1000 mL.

3.5.2 Pembuatan Larutan Baku Timbal 100 Ppm
Larutan induk 1000 ppm dipipet 50 mL ke dalam labu ukur 500 mL, kemudian diimpitkan hingga tanda batas.

3.5.3 Penyiapan Media Pertumbuhan
3.5.3.1 Penyiapan Media Pertumbuhan Terkontaminasi Pb2+ 15 ppm
Larutan induk Pb2+ dipipet sebanyak 75 mL dan dimasukkan dalam wadah pertumbuhan yang berisi 5 L air laut.

3.5.3.2 Penyiapan Media Pertumbuhan Yang Terkontaminasi Pb2+ 5, 10,15 dan 20 ppm
Larutan induk Pb2+ 1000 ppm dipipet sebanyak 25 mL, 50 mL, 75 mL, dan 100 mL dan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi 5 L air laut.

3.5.4 Penentuan Kadar Timbal yang diserap oleh E.Cottoni berdasarkan waktu kontak
Euchema cottonii dicuci lalu dibersihkan dengan tissue, kemudian ditimbang sebanyak 10 gram dalam berat basah. Euchema cottonii yang sudah ditimbang tersebut ditumbuhkan dalam wadah (baskom) yang telah diisi dengan 5 L air laut dan Pb2+ 15 ppm selama 45 hari. Selanjutnya diamati dan dicacat perubahan yang terjadi. Setiap hari ke-8 air laut yang digunakan menumbuhkan E.Cottonii dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom.



3.5.1 Penyerapan Euchema cottonii terhadap Pb2+ berdasarkan variasi Konsentrasi
Euchema cottonii dicuci lalu dibersihkan dengan tissue, kemudian ditimbang sebanyak 10 gram. Euchema cottonii yang sudah ditimbang tersebut masing-masing dimasukkan ke dalam wadah (baskom) yang telah diisi dengan 5 L air laut dan Pb2+ 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm,20 ppm dan 25 ppm, lalu ditumbuhkan selama 45 hari. Diamati perubahan yang terjadi sampai pada hari ke 45. Air laut yang digunakan untuk menumbuhkan Euchema cottonii tersebut dianalisis menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom. Untuk menentukan kadar Pb2+ diserap oleh E.Cottoni dapat digunakan persamaan sebagai berikut:
Konsentrasi teradsorpsi = konsentrasi awal – konsentrasi akhir
Cadsorpsi = (Cawal – Cakhir)

Banyaknya ion-ion logam yang teradsorpsi (mg) per gram adsorben ditentukan menggunakan persamaan:



Keterangan:

Qe = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g)
C0 = konsentrasi ion logam sebelum adsorpsi
Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi
V = volume larutan ion logam (L)
Wa = jumlah adsorben, (g)



DAFTAR PUSTAKA


Afrianto, E. dan Liviawati, E., 1993, Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya, Penerbit Bhratara, Jakarta.

Anonim, 2006 Menanggulangi Pencemaran Logam Berat (online), (http://www.ychi.org - ychi.org. diakses 4 Januari, 2008, pukul 09:35 Wita).

Anonim, 2006, Pesona rumput laut sebagai sumber devisa, (online) (http//www.dkp.go.id/content.php?c=3197, diakses 3 Februari 2008, pukul 20.15 wita).
Alberty, R.A. dan Silbey, R.J., 1992, Physical Chemistry, John Wiley & Sons, Inc, Canada.

Antunes, W.M., Luna, A.s., Henriques, C.A., dan Costa, A.C.A., 2003, An evaluation of copper biosorption by a brown seaweed under optimized conditions, Electronic J. of Biotechnology ISSN: 0717-3458.

Ardyanto D., 2005, Deteksi Pencemaran Timah Hitam (Pb) Dalam Darah Masyarakat Yang Terpajan Timbal (Plumbum), Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2 (1), 67 – 7.

Aslan, M., 1998, Budidaya Rumput Laut, Yogyakarta, Kanisius.

Bappedal, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, 1997, Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Jakarta.

Brahmana, S.S., dan Moelyo, M., 2003, Penelitian Bioremediasi Sumber Air Tercemar Bahan Berbahaya Dan Beracun, JLP. 17 (52), 83.

Darmono, 1995, Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI-Press, Jakarta.

Davis, T. A., Volesky, B. dan Vieira, R. H. S. F., 2000, Sargassum Seaweed As Biosorbent For Heavy Metals, Wat. Res. Vol. 34 (17), 4270 – 4278.

Figueira, M. M. Volesky, B., Ciminelli, V. S. T. , dan Roddick, F. A., 2000, Biosorption Of Metals In Brown Seaweed Biomass, Wat. Res. 34 (1) 196 - 204

Herman, D.Z., 2006, Tinjauan Terhadap Tailing Mengandung Unsur Pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari Sisa Pengolahan Bijih Logam, Jurnal Geologi Indonesia, 1 (1) 31-36.

Hidayat, A., 1994, Budidaya Rumput Laut, Usaha Nasimal, Surabaya.
Husain, D.R. dan Muchtar, I.H., 2005, Bakteri Pengompleks Logam Pb dan Cd Dari Limbah Cair PT. Kawasan Industri Makassar, Marina Chemica Acta, 7 (1), 25-28.

Hashim dan Chu, 2004, Biosorption of cadmium by brown, green, and red seaweeds, Chemical Engineering Journal, 97(2006) 249–255

Iqbal, H.Z. dan Qodir, M.A., 1990, AAS determination of Lead and Cadmium in Leaves Polluted by Vehicles Exhoust (Interface) Juornal Environmental Analytic Chemistry, 38 (4), 533 – 538.

Juneidi, W., 2004, Rumput Laut Jenis dan Morfologisnya, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta.

Lodeiro, P., Barriada, J.L., Herrero, R., dan Sastre de Vicente, M.E., 2005, The marine macroalga Cystoseira baccata as biosorbent for cadmium(II) and lead(II) removal: Kinetic and equilibrium studies, Environmental Pollution, 1 (142), 264-273.

Marganof, 2003, Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan tembaga) di Perairan, Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor.

Martaningtyas, D., 2004, Bahaya Cemaran Logam Berat, (online) (http://www.pikiran-akyat.com/cetak/0704/29/cakrawala/lainnya08.htm, diakses 25 Desember 2007 pukul 11.00 Wita).

Nybakken, J.W., 1988, Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi, Gramedia, Jakarta.

Palar. H., 1994, Pencemaran dan Toksikologi logam berat, Rineka Cipta, Jakarta.

Phillips, D.J.H., 1980. Proposal for Monitoring Studies on Metals and Organochlorines. Dalam "South Chines Fisharies Development and Coordinating Programme". Manila: FAO.
Prihatiningsih, B., 2001, Studi Kinetika Penyisihan Logam Timbal (Pb) Pada Reaktor Biologi Anaerob Dengan Sistem Batch, (Online), (http://digilib.unikom.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-s2-2001-bekti-1105-timbal, diakses pada tanggal 5 Januari 2008 pukul 11.30 Wita)
Putra, Buhani, dan Suharso, 2006, Alga sebagai Bioindikator dan Biosorben Logam Berat,(online) (http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=29, diakses 20 desember 2007 pukul 09.00 Wita)

Putra S. E., 2006, Alga Laut sebagai Biotarget Industri, (online), (http://www.energi.lipi.go.id) diakses 20 desember 2007 pukul 09.20 Wita).

Petrucci-Suminar, 1987, Kimia Dasar, Prinsip dan Terapan Modern, edisi ke 4, Erlangga, Jakarta.

Rahman, A., 2006, Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea Di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan, Bioscientiae, 3 (2), 93-101.

Regine, Vieira, dan Volesky B., 2000, Biosorption: a solution to pollution?, Internatl Microbiol, Canada.

Raya I., 2001, adsorpsi ion logam Tembaga(II) dan Cadmium(II) oleh Chaetoceros calcitrans hasil immobilisasi, FMIPA UNHAS, Makassar.

Sastrawijaya, A. T., 1991, Pencemaran Lingkungan, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Samsuari, 2006, Karakterisasi karaginan Eucheuma cottonii pada berbagai umur panen, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. http://www.damandiri.or.id/file/samsuaripbbab3.pdfhttp://www.damandiri.or.id/file/samsuaripbbab3.pdf, diakses 28 januari 2008 .

Siahainenia, L., 2001, Pencemaran Laut Dampak dan Penanggulangannya, Makalah Falsafah Sains, Program Pascasarjana IPB, Bogor, (online), (http:www.hayati-ipb.com/users/rudyct/indiv2001/lauras.htm, diakses 9 Maret 2007, pukul 10.15 Wita).

Suhendrayatna, 2001, Bioremoval Logam Berat dengan Menggunakan Mikroorganisme: Suatu Kajian Kepustakaan, (online), http://www.istecs.org/publication/Japan/010211-Suhendrayatna.PDF, diakses 14 April 2007, 10.45 Wita).

Suryani, E. dan Liong, S., 2003, Distribusi Kuantitatif Logam Berat Pb, Cd dan Cu dalam sedimen di Sekitar Perairan laut Dangkal Pulau Sumbawa, Marina Chemica Acta, 5 (2), 2-8.

Sudrajad, A., 2006, Tumpahan Minyak di Laut dan Beberapa Catatan Terhadap Kasus di Indonesia, Inovasi, 6 (18), 1.

Tandjung, S.D., 1991, Konservasi Sumber Daya Alam, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tondok, L., 2001, Pemanfaatan limbah kulit kacang (Arachis hypogeae L.) sebagai adsorben ion tembaga(II) dalam air, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Kimia FMIPA UNHAS, Makassar

Yustin, D., Angelia, D., Hala, Y. dan Taba. P., 2005, Analisis Potensi Limbah Cair Hasil Pengolahan Rumput Laut Sebagai Pupuk Buatan, Marina Chemica Acta 7 (1), 2-8.





.

.


































Lampiran 1. Bagan kerja penentuan kapasitas penyerapan E. Cottoni terhadap ion Pb2+ berdasarkan waktu kontak dan variasi konsentrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar